Sabtu, 01 Juni 2013

Uji Koefisien Fenol

Praktikum koefisien fenol yang dilakukan ini merupakan uji efektifitas dari desinfektan terhadap kemampuannya membunuh bakteri dalam waktu 10 menit, tapi tidak membunuh bakteri dalam waktu 5 menit. Kemampuan ini dibandingkan dengan kemampuan fenol dalam membunuh bakteri dengan waktu dan kondisi yang sama. Koefisien fenol yang kurang dari 1 menunjukkan bahwa bahan antimikroba tersebut kurang efektif dibanding dengan fenol. Dan sebaliknya, jika koeisien fenol lebih dari 1 maka bahan antimikroba tersebut lebih efektif jika dibandingkan dengan fenol.
Fenol adalah salah satu contoh disinfektan yang efektif dalam membunuh kuman pada konsentrasi rendah. Daya bunuhnya ini disebabkan karena fenol mempresipitasikan protein secara aktif, dan selain itu juga merusak membran sel dengan menurunkan tegangan permukaannya. Dengan persetujuan para ahli dan peneliti, fenol dijadikan standar pembanding untuk menentukan aktivitas sesuatu desinfektan.
Desinfektan yang digunakan dalam praktikum ini adalah merk Wipol, yang pada kemasannya tertera mengandung bahan aktif pine oil 2,5% yang merupakan desinfektan golongan phenolic yang dapat menyebabkan iritasi kulit dan dapat digunakan sebagai desinfektan. Desinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia atau pengaruh fisika yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri dan virus, juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya. Bahan kimia tertentu merupakan zat aktif dalam proses desinfeksi dan sangat menentukan efektivitas dan fungsi serta target mikroorganime yang akan dimatikan. Bahan kimia yang termasuk dalam desinfektan dapat dari golongan aldehid atau golongan pereduksi, yaitu bahan kimia yang mengandung gugus -COH; golongan alkohol, yaitu senyawa kimia yang mengandung gugus -OH; golongan halogen atau senyawa terhalogenasi, yaitu senyawa kimia golongan halogen atau yang mengandung gugus -X; golongan fenol dan fenol terhalogenasi, golongan garam amonium kuarterner, golongan pengoksidasi, dan golongan biguanida.
Tidak semua desinfektan dapat digunakan untuk pengendalian mikroorganisme secara umum. Desinfektan tertentu hanya cocok untuk mengendalikan mikroorganisme tertentu dan tidak mampu mengendalikan mikroorganisme lain. Beberapa jenis desinfektan ada yang hanya efektif pada lapisan luar saja, ada yang memiliki daya kerja yang luas terhadap mikroorganisme dan ada pula yang hanya bisa mengatasi sejumlah kecil mikroorganisme. Pengguna desinfektan dituntut bisa melakukan pilihan secara tepat, sehingga minimal harus mengetahui kelemahan dan keunggulan masing-masing desinfektan. Bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap desinfektan. Hal ini disebabkan karena dinding spora bersifat impermeabel dan asam ribonukleat di dalam protoplasma memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pengaruh buruk dari desinfektan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan desinfektan yang digunakan untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme adalah :
1.      Jenis organisme yang digunakan.
2.      Jumlah mikroorganisme yang digunakan.
3.      Umur dan sejarah dari mikroorganisme.
4.      Jaringan atau unsur-unsur yang ada dalam mikrorganisme.
5.      Jenis racun dari zat kimia (jika diambil secara internal).
6.      Waktu bagi zat kimia untuk bekerja dan konsentrasi yang dipakai.
Pada penentuan koefisien fenol pada desinfektan, langkah pertama yang dilakukan adalah pembuatan larutan pengenceran fenol dengan berbagai konsentrasi. Disiapkan 3 buah tabung reaksi steril yang masing-masing tabung reaksi berisi aquadest steril sebanyak 6,9 ml,  7,9 ml, dan 8,9 ml. Setelah itu dimasukkan fenol sebanyak 0,1 ml pada setiap tabung. Variasi pengenceran fenol ini untuk memperoleh konsentrasi fenol yang baik yang dapat membunuh kuman. Pengenceran ini sudah melalui penelitian yang dapat membunuh kuman dalam waktu 10 menit tapi tidak membunuh kuman dalam 5 menit.
Langkah selanjutnya adalah pembuatan larutan pengenceran desinfektan. Dalam pembuatan larutan pengenceran desinfektan, disiapkan 3 buah tabung reaksi steril yang telah berisi aquadest steril 9,9 ml, 14,4 ml, dan 19,9 ml, kemudian ditambahkan 0,1 ml desinfektan.
Kemudian dilakukan pembuatan formulasi kuman. Kuman yang digunakan adalah kuman Salmonella sp. Koloni diambil beberapa ose, kemudian dimasukkan pada tabung reaksi yang berisi aquadest steril sebanyak  3,5 ml dan dihomogenkan.
Tabung yang telah berisi pengenceran fenol dan pengenceran desinfektan ditambahkan suspensi bakteri Salmonella sp. sebanyak 0,5 ml pada setiap tabung. Pada saat menambahkan suspensi bakteri, digunakan pipet volume dan harus dalam keadaan aseptis untuk mencegah kontaminasi dari luar sehingga hasil yang didapat menjadi lebih akurat.
Bakteri yang telah dimasukkan ke dalam tabung yang berisi pengenceran fenol dan pengenceran desifektan tadi kemudian diinokulasi pada media Nutrient Agar. Untuk melakukan penanaman bakteri (inokulasi) terlebih dahulu diusahakan agar semua alat yang ada dalam hubungannya dengan medium agar tetap steril, hal ini agar menghindari terjadinya kontaminasi. Nutrient Agar (NA) adalah media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (penyimpanan kuman-kuman/bakteri). Media ini berfungsi untuk menumbuhkan mikroba, isolasi, memperbanyak jumlah, menguji sifat-sifat fisiologi dan perhitungan jumlah mikroba. NA juga digunakan untuk pertumbuhan mayoritas dari mikroorganisme yang tidak selektif, dalam artian mikroorganisme heterotrof. Media ini merupakan media sederhana yang dibuat dari ekstrak beef, pepton, dan agar. NA merupakan salah satu media yang umum digunakan dalam prosedur bakteriologi seperti uji biasa dari air, produk pangan, untuk membawa stok kultur, untuk pertumbuhan sampel pada uji bakteri, dan untuk mengisolasi organisme dalam kultur murni.
Penanaman pada media Nutrient Agar pada praktikum ini dilakukan dengan metode cawan gores. Metode cawan gores (Steak Plate) bertujuan untuk mengisolasi mikroorganisme dari campurannya atau meremajakan kultur ke dalam medium baru. Cara penanaman bakteri dengan metode gores adalah kawat terlebih dahulu dipijarkan sedangkan sisanya tungkai cukup dilewatkan nyala api saja setelah dingin kembali kawat itu disentuhkan lagi dalam nyala api. Setelah difiksasi, ditunggu beberapa saat sebelum mengambil bakteri, agar suhu ose tidak terlalu panas dan bakteri tidak mati. Tetapi perlu diingat juga bahwa ose tidak boleh terlalu lama didiamkan agar ose tidak terkontaminasi dengan bakteri dari udara. Kemudian digoreskan ose  ke permukaan media agar dengan pola lurus atau zigzag secara hati-hati tanpa ditekan sehingga tidak merusak permukaan agar. Di antara garis-garis goresan akan terdapat sel-sel yang cukup terpisah sehingga dapat tumbuh menjadi koloni. Proses penggoresan ini dilakukan secara bertahap pada masing-masing media yaitu dalam waktu 5 menit dan 10 menit. Kemudian diinkubasi dalam inkubator selama 2 x 24 jam pada suhu 37ºC. Proses inkubasi dilakukan pada suhu tersebut karena suhu 37ºC merupakan suhu bakteri Salmonella dapat tumbuh secara optimal. Setelah diinkubasi diamati ada tidaknya koloni bakteri yang tumbuh.
Hasil yang didapat dari percobaan kali ini adalah pada pengenceran fenol 1:70, 1:80 dan 1:90 baik pada menit ke-5 maupun menit ke-10 terjadi pertumbuhan koloni bakteri pada media NA dengan ciri – ciri :
-          Bentuk bulat keping
-          Tepi smooth
-          Ukuran kecil
-          Warna bening serupa media
Hal ini terjadi karena fenol yang digunakan merupakan stok lama, sehingga keefektifannya berkurang dalam membunuh kuman dengan pengenceran 1:70 ; 1:80 dan 1:90.
 Demikian pula pada pengenceran desinfektan 1:100  ; 1:150 dan 1:200 baik pada menit ke-5 maupun menit ke-10 terjadi pertumbuhan koloni bakteri pada media NA dengan ciri – ciri :
-          Bentuk bulat keping
-          Tepi smooth
-          Ukuran kecil
-          Warna bening serupa media
Hasil ini menunjukan bahwa desinfektan Wipol yang digunakan kemungkinan memang tidak dapat membunuh kuman dengan pengenceran 1:100  ; 1:150 dan 1:200. Selain itu, waktu pemaparan desinfektan dengan bakteri juga dapat mempengaruhi efektivitas desinfektan. Karena semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama paparan akan meningkatkan efektivitas senyawa desinfektan tersebut. Selain itu, banyak faktor kesalahan pada praktikum yang dapat mempengaruhi hasil tersebut.
Adanya pertumbuhan koloni bakteri pada fenol dan desinfektan menyebabkan koefisien fenol tidak dapat dihitung karena koefisien fenol ditentukan dari membandingkan pengenceran tertinggi desinfektan dapat membunuh kuman dalam 10 menit tapi tidak membunuh kuman dalam 5 menit dengan pengenceran tertinggi fenol dapat membunuh kuman dalam 10 menit tapi tidak membunuh kuman dalam 5 menit. Jadi, apabila tidak ada nilai pengenceran tertinggi fenol dan desinfektan dalam membunuh kuman, maka koefisien fenol tidak dapat dihitung.
Kesalahan-kesalahan pada praktikum penentuan koefisien fenol kemungkinan disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya adalah :
·         Terlalu banyak berbicara pada pengerjaan sehingga banyak bakteri droplet.
·  Pada saat percobaan, pengerjaan dilakukan kurang aseptis, sehingga dapat menyebabkan kontaminan masuk kedalam tabung uji. Akibatnya, dapat mempengaruhi hasil pengamatan.

·         Pada saat percobaan, waktu kontak bakteri dengan desinfektan tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Senin, 20 Mei 2013

TPHA


PEMERIKSAAN TPHA
(Treponema Pallidum Hemaglutination Assay)

1.1  Tujuan
1.      Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan TPHA
2.      Mahasiswa dapat mendeteksi adanya antibody terhadap Treponema palidum dalam serum pasien secara kualitatif dan semi-kuantitatif

1.2  Metode
Metode yang digunakan adalah indirek hemaglutinasi

1.3  Prinsip
Antibodi spesifik untuk T.pallidum yang ada di dalam serum pasien akan beraglutinasi dengan awetan eritrosit burung yang terdapat dalam reageant Plasmatec TPHA yang telah dilapisi komponen antigenik patogen T.pallidum (Nichol Strain)  dan menunjukkan pola aglutinasi pada sumur mikrotitrasi.

1.4  Dasar Teori
 Pemeriksaan Treponema Pallidum Hemagglutination Assay (TPHA)
Treponema Pallidum Hemagglutination Assay (TPHA) merupakan suatu pemeriksaan serologi untuk sifilis dan kurang sensitif bila digunakan sebagai skrining (tahap awal atau primer) sifilis. Manfaat pemeriksaan TPHA sebagai pemeriksaan konfirmasi untuk penyakit sifilis dan mendeteksi respon serologis spesifik untuk Treponema pallidum pada tahap lanjut atau akhir sifilis. Untuk skirining penyakit sifilis biasanya menggunakan pemeriksaan VDRL atau RPR apabila hasil reaktif kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan TPHA sebagai konfirmasi (Vanilla, 2011).
TPHA merupakan tes yang sangat spesifik untuk melihat apakah adanya antibodi terhadap treponema. Jika di dalam tubuh terdapat bakteri ini, maka hasil tes positif. Tes ini akan menjadi negatif setelah 6 - 24 bulan setelah pengobatan. Bakteri-bakteri yang lain selain keluarga treponema tidak dapat membuat hasil tes ini menjadi positif (Anonim, 2013).
Pemeriksaan TPHA dilakukan berdasarkan adanya antibodi Treponema Palidum yang akan bereaksi dengan antigen treponema yang menempel pada eritrosit sehingga terbentuk aglutinasi dari eritrosit-eritrosit tersebut (Vanilla, 2011).
Keunggulan metode TPHA untuk pemeriksaan Sifilis dibandingkan metode lain:
1.      Teknik dan pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitive (dapat mendeteksi titer – titer yang sangat rendah)
2.      Bakteri lain selain dari family Treponema tidak dapat memberikan hasil positif
Namun, metode TPHA memiliki beberapa kekurangan, antara lain:
1.      Harganya mahal
2.      Pengerjaannya membutuhkan waktu inkubasi yang lama, hampir 1 jam. 
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan TPHA antara lain :
1.      Jangan menggunakan serum yang hemolisis karena dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.
2.      Serum atau plasma harus bebas dari sel darah dan kontaminasi mikrobiologi
3.      Jika terdapat penundaan pemeriksaan, serum disimpan pada suhu 2-80C dimana dapat bertahan selama 7 hari dan bila disimpan pada suhu -200C, serum dapat bertahan lebih lama.
4.      Serum atau plasma yang beku sebelum dilakukan pemeriksaan harus dicairkan dan dihomogenkan dengan baik sebelum pemeriksaan.
5.      Reagen harus disimpan pada suhu 2-80C jika tidak digunakan dan jangan disimpan di freezer.
6.      Uji TPHA menunjukkan hasil reaktif setelah 1-4 minggu setelah terbentuknya chancre.
7.      Dalam melakukan pemeriksaan harus menyertakan kontrol positif dan kontrol negatif

1.5  Alat, Bahan, dan Reagen
A.    Alat
1.      Mikropipet 190 µl, 10 µl, 25 µl, dan 75 µl
2.      Microplate
3.      Yellow tip
B.     Bahan
1.      Serum
C.    Reagen
1.      Plasmatec TPHA Test Kit mengandung:
-          R1    : Test sel
-          R2    : Control sel
-          R3    : Diluent
-          R4    : Control positif
-          R5    : Control negatif

1.6  Langkah Kerja
A.    Uji Kualitatif
1.      Alat dan bahan disiapkan
2.      Setiap komponen kit dan sampel dikondisikan pada suhu kamar.
3.      Semua reagen dihomogenkan perlahan
4.      Diluents ditambahkan sebanyak 190 µl dan sampel ditambahkan sebanyak 10µl  pada sumur 1 lalu dihomogenkan
5.      Campuran pada sumur 1 dipipet sebanyak 25 µl dan ditambahkan pada sumur 2 dan 3
6.      Control sel sebanyak 75 µl ditambahkan pada sumur 2 lalu dihomogenkan
7.      Test sel sebanyak 75 µl ditambahkan pada sumur 3 lalu dihomogenkan
8.      Sumur diinkubasi pada suhu ruang selama 45 – 60 menit.
9.      Aglutinasi yang terjadi diamati
10.  Sampel yang menunjukan hasil aglutinasi positif dilanjutkan ke uji semi kuantitatif.
Note : control positif dan negatif selalu disertakan dalam setiap uji tanpa perlu diencerkan.

B.     Uji Semi Kuantitatif
1.      Alat dan bahan disiapkan
2.      Setiap komponen kit dan sampel dikondisikan pada suhu kamar
3.      Semua reagen dihomogenkan perlahan
4.      Sumur mikrotitrasi disiapkan dan diberi label no. 1 sampai 8
5.      Pengenceran sampel dibuat pada sumur yang berbeda dengan sumur mikrotitrasi dengan mencampur 190 µl diluents dan 10 µl sampel
6.      Sumur mikrotitrasi no. 1 dikosongkan
7.      Sumur mikrotitrasi no. 2 – 8 ditambahkan 25µl diluent
8.      Pada sumur mikrotitrasi no. 1 dan 2 ditambahkan 25 µl sampel yang telah diencerkan.
9.      Campuran pada sumur 2 dipipet 25 µl dan ditambahkan pada sumur 3, lalu dihomogenkan. Begitu seterusnya sampai sumur 8
10.  Campuran pada sumur 8 dipipet 25 µl dan dibuang
11.  Control sel sebanyak 75 µl ditambahkan pada sumur mikrotitrasi no. 1 lalu dihomogenkan
12.  Tes sel sebanyak 75 µl ditambahkan pada sumur mikrotitrasi no. 2-8 lalu dihomogenkan
13.  Sumur diinkubasi pada suhu ruang selama 45 – 60 menit
14.  Aglutinasi yang terjadi dibaca, dan ditentukan titernya

1.7  Interprestasi Hasil
A.    Uji Kualitatif
Hemaglutinasi positif ditandai dengan adanya bulatan berwarna merah dipermukaan sumur, hasil negatif terlihat seperti titik berwarna merah di tengah dasar sumur
Tingkatan aglutinasi:
+4   : bulatan merah merata pada seluruh permukaan sumur
+3   : bulatan merah terdapat di sebagian besar permukaan sumur
+2   : bulatan merah yang terbentuk tidak besar dan tampak seperti cincin
+1   : bulatan merah kecil dan tampak cincin terang
+/-   : tampak cincin dengan warna bulatan merah yang samar
-      : Tampak titik berwarna merah didasar sumur


B.     Uji Semi Kuantitatif
Titer       : pengenceran tertinggi yang masih menunjukkan aglutinasi
Sumur
1
2
3
4
5
6
7
8
Titer
(control cell)
1:80
1:160
1:320
1:640
1:1280
1: 2560
1: 5120