Selasa, 23 April 2013

Crossmatch


PRAKTIKUM V
PEMERIKSAAN UJI SILANG SERASI (CROSSMATCHING)


HARI/TANGGAL     : SENIN/ 15 APRIL 2013
TEMPAT                    : Unit Transfusi Darah , RSUP Sanglah

I.              TUJUAN
-            Untuk mengetahui kecocokan darah pendonor dengan darah resipien.
II.           METODE
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah metode aglutinasi.
III.        PRINSIP
Antibodi yang terdapat dalam serum/plasma, bila direaksikan dengan antigen  pada sel darah merah, melalui inkubasi pada suhu 370C dan dalam waktu tertentu, dan dengan penambahan anti  monoglobulin akan terjadi reaksi aglutinasi.
IV.        DASAR TEORI
Darah selalu dihubungkan dengan kehidupan, baik berdasarkan kepercayaan saja maupun atas dasar bukti pengamatan. Penggunaan darah yang berasal dari individu lain dan diberikan secara langsung ke pembuluh darah juga sudah lama pula dilakakukan, paling tidak sejak abad pertengahan. Pada mulanya, pemberian darah seperti ini dan kini yang dikenal sebagai transfusi tidak dilakukan dengan landasan ilmiah, tidak mempunyai indikasi yang jelas dan dilakukan sembarang saja. Tindakan ini lebih banyak dilakukan atas dasar yang lebih bersifat kepercayaan, misalnya darah sebagai lambang kehidupan. Indikasi juga tidak jelas, bukan terutama untuk mengobati  penyakit atau memperbaiki keaadaan karena perdarahan. Lebih sering hal ini dilakukan untuk tujuan seperti peremajaan jaringan (rejuvenilisasi). Pelaksanaannya juga tidak didasarkan atas pengetahuan yang cukup. Oleh karena itu tidak heran bila pada masa itu banyak korban karena tindakan yang dilakukan secara sembarang ini, baik  pada donor maupun pada penerima darah. Bahkan pernah ada suatu masa, tepatnya abad ke-17 dan 18 transfusi dilarang dilakukan di Eropa (Sadikin, 2002).
Barulah pada akhir abad ke-19 dan di awal abad ke-20. Fenomena ini dapat dipahami dengan jelas dan tepat, sehingga tindakan transfusi dapat dilakukan dengan cara yang jauh lebih aman. Pada masa itu, seorang dokter berkebangsaan Austria dan bekerja di New York, Karl Landsteiner, menemukan melalui sejumlah besar pengamatan, bahwa darah manusia yang berasal dari dua orang yang berbeda tidaklaah selalu dapat dicampur begitu saja tanpa perubahan fisik apapun. Dalam kebanyakan pengamatan, pencampuran darah yang berasal akan menyebabkan timbulnya pegendapan sel-sel darah merah. Peristiwa mengendap sel tersebut dinamai sebagai aglutinasi. Pengamatan selanjutnya memperlihatkan, bahwa peristiwa ini melibatkan SDM dan bagian cair dari darah, yaitu serum atau plasma. Serum sesorang tidak dapat mengendapkan SDM orang itu sendiri atau SDM yang berasal dari orang lain, yang bila darahnya dicampur dengan darah orang yang pertama,  tidak menyebabkan pengendapan. Akan tetapi, bila darah dari 2 orang berbeda  dicampur dan aglutinasi terjadi, maka bila serum dari salah satu dari orang tersebut dicampur dengan SDM dari orang yang lainnya, akan terjadi aglutinasi (Sadikin, 2002).
Hemolisis atau lebih dikenal dengan kejadian pecahnya sel darah merah secara normal didalam tubuh tidak dapat dihindari apabila sel darah merah atau eritrosit sudah mencapai usianya, dengan pecahnya sel darah merah atau eritrosit didalam tubuh secara normal tubuh direspon untuk membentuk sel darah merah yang baru. Haemoglobin yang keluar dari sel darah merah atau eritrosit akan diuraikan oleh organ tubuh yang bertanggung jawab dan bagian yang penting dari penguraian ini akan dimanfaatkan kembali untuk pembentukan sel darah merah yang baru. Pada kejadian yang tidak normal jumlah sel darah merah yang pecah lebih besar dari pada pembentukan sel darah merah yang baru dan mengakibatkan dari peruraian Hb akan membubung tinggi dan sangat mengganggu organ lain (organ tubuh) (Ismail, 2010).
Kejadian hemolisis yang tidak normal (abnormal) bisa disebabkan oleh beberapa faktor dari dalam tubuh (invivo) sendiri, misalnya kondisi sel darah merah itu sendiri kurang baik, atau bisa disebabkan oleh faktor luar (invitro), dari faktor luar bisa dijumpai akibat dari faktor transfusi darah, karena disebabkan adanya reaksi antibodi terhadap antigen yang masuk kedalam tubuh atau pada sel darah merah dan risikonya akan lebih besar apabila sel darah merah donor yang ditransfusikan tidak cocok dengan antibodi yang berada dalam plasma donor dengan sel darah merah pasien. reaksi hemolisis in vivo karena transfusi ini disebut reaksi hemolitik transfusi. Reaksi hemolitik bisa terjadi secara langsung (direck or indirec) dan dapat berakibat fatal, dan bisa juga reaksinya baru muncul beberapa waktu kemudian setelah transfusi ( delay hemolitik tarnsfution reaction ).
Akibat yang fatal dari reaksi transfusi dikarenakan ketidak cocokan golongan darah ABO ( antibodi-A,-B,-AB ) yang dibuat secara teratur menurut golongan darah masing-masing. Disamping itu mungkin ada antibodi lain yang mungkin dibentuk secara alamiah tetapi tidak beratur ( antibodi -Lewis,-A1,-P1 dll ) atau antibodi immun (Ismail, 2010).
Reaksi transfusi yang baru muncul beberapa waktu kemudian setelah transfusi ( delay hemolitik tarnsfution reaction ) bisa disebabkan karena darah donor sesungguhnya tidak compatible denga darah pasien, namun dalam reaksi silang/uji silang serasi menhasilkan false-compatible (Ismail, 2010).
Reaksi silang (Crossmatch = Compatibility-test) perlu dilakukan sebelum melakukan transfusi darah untuk melihat apakah darah penderita sesuai dengan darah donor. Pengartian Crossmatch adalah reaksi silang in vitro antara darah pasien dengan darah donornya yang akan di transfusikan. Reaksi ini dimaksudkan untuk mencari tahu atau apakah darah donor akan ditranfusikan itu nantinya akan dilawan oleh serum pasien didalam tubuhnya, atau adakah plasma donor yang turut ditransfusikan akan melawan sel pasien didalam tubuhnya hingga akan memperberat anemia, disamping kemungkinan adanya reaksi hemolytic transfusi yang biasanya membahayakan pasien. 
Maka dapat disimpulkan tujuan Crossmacth sendiri yaitu mencegah reaksi hemolitik tranfusi darah bila darah didonorkan dan supaya darah yang ditrafusikan itu benar-benar ada manfaatnya bagi kesembuhan pasien.
Jika pada reaksi tersebut golongan darah A,B dan O penerima dan donor sama, baik mayor maupun minor test tidak bereaksi berarti cocok. Jika berlainan, misalnya donor golongan darah O dan penerima golongan darah A maka pada test minor akan terjadi aglutinasi atau juga bisa sebaliknya berarti tidak cocok (Anonim, 2010).
Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi keselamatan penerima darah dan sebaiknya dilakukan demikian sehingga Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat ditemukan dengan cara tabung saja. Cara dengan objek glass kurang menjaminkan hasil percobaan. Reaksi silang yang dilakukan hanya pada suhu kamar saja tidak dapat mengesampingkan aglutinin Rh yang hanya bereaksi pada suhu 37 derajat Celcius. Lagi pula untuk menentukan anti Rh sebaiknya digunakan cara Crossmatch dengan high protein methode. Ada beberapa cara untuk menentukan reaksi silang yaitu reaksi silang dalam larutan garam faal dan reaksi silang pada objek glass (Anonim, 2010).
Serum antiglobulin meningkatkan sensitivitas pengujian in vitro. Antibody kelas IgM yang kuat biasanya menggumpalkan erythrosit yang mengandung antigen yang relevam secara nyata, tetapi antibody yang lemah sulit dideteksi. Banyak antibodi kelas IgG yang tak mampu menggumpalkan eryhtrosit walaupun antibody itu kuat. Semua pengujian antibodi termasuk uji silang tahap pertama menggunakan cara sentrifugasi serum dengan eryhtrosit. Sel dan serum kemudian diinkubasi selama 15-30 menit untuk memberi kesempatan antibodi melekat pada permukaan sel, lalu ditambahkan serum antiglobulin dan bila pendertita mengandung antibodi dengan eryhtrosit donor maka terjadi gumpalan. Uji saring terhadap antibodi penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga ibu hamil yang kemungkinan terkena penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (Anonim, 2010).


V.           ALAT DAN BAHAN
A.  ALAT
1.        Tabung reaksi ukuran 12x75 mm
2.        Rak tabung reaksi
3.        Inkubator
4.        Sentrifuge
5.        Botol semprot
B.  BAHAN
1.        Sampel serum OS
2.        Sampel plasma donor
3.        Cell darah donor 5 %
4.        Cell darah resipien 5 %
C.  REAGENSIA
1.        Saline/ NaCl 0,9
2.        Bovine albumin 22 %
3.        Coomb’s serum
4.        Coomb’s control cells
VI.        CARA KERJA
A.      Phase I : Phase suhu kamar di dalam saline medium
1.        
Tabung III
Autocontrol
 
Tabung II
Minor
 
Tabung I
Mayor
 
Diambil 3 buah tabung ukuran 12 X 75 mm, dimasukkan ke dalam masing-masing tabung


2 tetes serum OS
1 tetes sel 5 % donor

 
2 tetes plasma donor
1 tetes sel 5 % OS

 
2 tetes serum OS
1 tetes sel 5 % OS

 
 







                 
2.      Isi dicampurkan dikocok-kocok hingga homogen. Diputar 3000 rpm selama 15 detik.
3.      Reaksi dibaca terhadap hemolisis dan aglutinasi secara mikroskopis.
B.     Phase II : Phase inkubasi 370C dalam medium bovine albumin 22%
1.      Ke dalam masing-masing tabung ditambahkan bovine albumin 22 % sebanyak 2 tetes.
2.      Tabung dikocok-kocok
3.      Diinkubasi 370C selama 15 menit
C.     Phase III : (Indirect Coomb’s Test)
1.      Sel darah merah dalam tabung dicuci sebanyak 3 x dengan saline
2.      Ke dalam kedua tabung  ditambahkan masing-masing  2 tetes Coomb’s serum
3.      Hasil reaksi dibaca secara makroskopis dan mikroskopis
D.    Validitas
1.      Kepada tabung yang hasil coomb’s testnya negatif ditambahakan 1 tetes CCC (Coomb’s Control Cell)
2.      Diputar 3000 rpm selama 15 detik
3.      Hasil dibaca :
-          Positif  : Reaksi silang valid
-          Negatif : Reaksi silang tidak valid

VII.     HASIL PENGAMATAN

Phase I
Phase II
Phase III
Validitas
Mayor
-
-
-
+
Minor
-
-
-
+
Autocontrol
-
-
-
+


VIII. 
PEMBAHASAN
Crossmatch adalah reaksi silang in vitro antara darah pasien dengan darah donornya yang akan di transfusikan. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum pelaksanaan transfusi darah.
Tindakan uji silang (crossmatch) diperlukan sebelum melakukan tranfusi darah untuk melihat apakah darah penderita sesuai dengan  donor. Untuk tujuan tersebut, golongan darah penerima resipien harus sama dengan golongan darah pemberi donor dan uji aglutinasi antara serum resipien dengan SDM donor dan serum donor dengan SDM resipien.
Uji crossmatch ini penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga ibu hamil yang kemungkinan terkena penyakit hemolitik pada bayi baru lahir.
Tujuan dilakukan periksaan uji silang adalah
1.      untuk melihat apakah darah dari pendonor cocok dengan penerima (resipien).
2.      untuk konfirmasi golongan darah.
3.      untuk mencari tahu atau apakah darah donor akan ditranfusikan itu nantinya akan dilawan oleh serum pasien didalam tubuhnya, atau adakah plasma donor yang turut ditransfusikan akan melawan sel pasien didalam tubuhnya hingga akan memperberat anemia, disamping kemungkinan adanya reaksi hemolytic transfusi yang biasanya membahayakan pasien.
Maka dapat disimpulkan tujuan Crossmacth sendiri yaitu mencegah reaksi hemolitik darah bila darah didonorkan dan supaya darah yang ditrafusikan itu benar-benar ada manfaatnya bagi kesembuhan pasien.
Crossmatch mempunyai tiga fungsi, yaitu:
1.     Konfirmasi jenis ABO dan Rh (kurang dari 5 menit)
2.     Mendeteksi antibodi pada golongan darah lain.
3.    Mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45 menit.

Prinsip crossmatch ada dua yaitu Mayor dan Minor, yang penjelasnya sebagai berikut :
·           Mayor crossmatch adalah serum penerima dicampur dengan sel donor. Maksudnya apakah sel donor itu akan dihancurkan oleh antibody dalam serum pasien.
·            Minor crossmatch adalah plasma donor dicampur dengan sel penerima. Yang dengan maksud apakah sel pasien akan dihancurkan oleh plasma donor.
Jika golongan darah (system ABO) penerima dan donor sama, baik mayor maupun minor tidak bereaksi, jika berlainan misalnya, donor golongan O dan penerima golongan A, akan terjadi aglutinasi pada tes minor.
Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi keselamatan penerima darah dan sebaiknya dilakukan demikian sehingga Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat ditemukan dengan cara tabung saja. Cara dengan objek glass kurang menjaminkan hasil percobaan. Reaksi silang yang dilakukan hanya pada suhu kamar saja tidak dapat mengesampingkan aglutinin Rh yang hanya bereaksi pada suhu 37OC.
Pada pemeriksaan uji silang serasi ada tiga fase yaitu :
1)     Fase I (fase suhu kamar, dalam medium salin)
Fase ini menilai kecocokan antibody alami dengan antigen eritrosit antara donor dan resipien, sehingga reaksi tranfusi hemolitik yang fatal bisa dihindari. Pada fase ini juga dapat menentukan golongan darah.
2)     Fase II (fase inkubasi pada suhu 37OC)
Fase ini untuk mendeteksi antibody anti-Rh dan meningkatkan sensitivitas tes globulin dengan menggunakan media bovine albumin 22%. Dilakukan inkubasi selama 15 menit pada suhu 37OC sebagai suhu yang sama dengan suhu badan, sehingga member kesempatan antibody untuk melekat pada sel. Inkubasi tidak boleh lebih dari 15 menit karena ada kemungkinan terjadi aglutinasi nonspesifik.
3)     Fase III (Indirect Coomb’s Test)
Fase ini merupakan uji antiglobulin. Untuk mendeteksi IgG yang dapat menimbulkan masalah dalam tranfusi yang tidak dapat terdeteksi pada kedua fase sebelumnya.
Sebelum di tes, eritrosit dicuci terlebih dahulu dari globulin plasma yang tidak bersifat antizat spesifik dan kemudian dicampur dengan Coomb’s serum, yaitu serum hewan yang mengandung antizat spesifik terhadap globulin human. Adanya aglutinasi menunjukan adanya antizat yang melapisi eritrosit.
Uji validitas berfungsi untuk mengetahui, apakah uji silang yang dilakukan sudah valid atau tidak. Hasil uji validitas pasti menunjukan hasil positif, namun positif lemah. Pada uji validitas, tabung yang menghasilkan hasil positif pada fase sebelumnya tidak di lakukan uji lagi, karena uji ini untuk mengetahui validitas dari uji silang.
Jika pada reaksi tersebut golongan darah A,B dan O penerima donor sama, baik mayor maupun minor test tidak bereaksi, berarti hasil compatible/cocok. Jika berlainan misalnya donor golongan darah O dan penerima golongan darah A, maka berarti incompatible/tidak cocok.
Pada praktikum ini, didapatkan hasil uji silang fase 1,2,3 dan uji validitas sebagai berikut

Phase I
Phase II
Phase III
Validitas
Mayor
-
-
-
+
Minor
-
-
-
+
Autocontrol
-
-
-
+
Pada table dapat dilihat bahwa, hasil uji silang fase 1,2 dan 3 untuk tabung mayor, minor ataupun autocontorl selalu menunjukan hasil negatif (tidak terjadi aglutinasi). Hal ini berarti terjadi ketidak cocokan antara serum pasien dengan darah donor. Dengan demikian, hasil uji silang dapat dinyatakan compatible untuk resipien sehingga proses tranfusi dapat dilakukan.
Karena keseluruh tabung menunjukan hasil negative, maka pada seluruh tabung dilakukan uji validitas untuk mengetahui apakah uji silang yang telah dilakukan valid. Tabung minor, mayor dan autocontrol seluruhnya menunjukan hasil uji yang valid. Hasil ini ditunjukan dari adanya aglutinasi pada tabung, namun aglutinasinya lemah. Namun pada tabung mayor, sempat terjadi kesalahan dalam pengamatan, karena pada uji validitas tampak tidak terjadi aglutinasi. Hal ini karena saat awal pengamatan, tampak aglutinasi lemah, dan pengocokan tabung dipercepat dengan maksud untuk mempertegas timbulnya aglutinasi. Hal ini justru membuat darah bercampur dan aglutinasi tidak tampak lagi. Oleh karena itu, teknik pengocokan tabung pada uji validitas berbeda dengan phase uji silang. Dimana aglutinasi yang terjadi adalah aglutinasi lemah dan akan jelas terlihat apabila di amati dengan mikroskop.
IX.          Simpulan
Hasil uji silang untuk sampel R3 sebagai resipien dan D4 sebagai donor adalah compatible/cocok, sehingga dapat dilakukan tranfusi darah dari donor ke resipien.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Reaksi Silang Serasi. Diakses di http://www.sodiycxacun.web.id/2010/10/reaksi-silang-crossmatch.html. diakses tanggal 11 April 2013
Anonim. 2011. Crossmatch ( reaksi Silang Serasi. Diakses di http://labku1rskd.wordpress.com/tag/crossmatch-reaksi-silang-serasi/. Diakses tanggal 11 April 203
Ismail.2011. Pemeriksaan pre Transfusi Darah. Diakses di http://ismail-pemeriksaandarahpretransfusi.blogspot.com/. Diakses tanggal 11 April 2013.
Sadikin, Muhamad. 2002. Biokimia Darah. Jakarta : Widya Medika