Penyesalan
“Pagi Syira!”
“Pagi! Apa kabar Ki ?” aku
menyapa Coki, teman sekelasku. Dia baru saja masuk sekolah. Coki di rawat di
rumah sakit selama 5 hari karena tipus. Makanya baru sekarang Coki bisa hadir
lagi ke sekolah.
“Baik donk! Kamu gimana? Oh iya,
ini ada kue dari mamaku, ucapan terima kasih karena kamu udah mau nemenin aku
selama di rumah sakit.” Coki menyerahkan bungkusan hitam yang cukup besar
padaku.
“Duh! Gak perlu Ki. Aku ikhlas
kok nemenin kamu. Kita kan sahabatan, udah jadi kewajiban kalau aku nemenin
kamu waktu kamu sakit. Jadi, gak perlu ada ucapan terima kasih.”
“Oh..gitu ya. Tapi gimana
dong? Mama yang suruh titipin ini ke kamu. Kalau kamu gak mau, kue ini aku
kasih siapa?”
Tiba – tiba Rani, teman
sebangkuku masuk ke kelas.
“Buat Rani aja. Dia juga
nemenin kamu di rumah sakit kan?” saranku pada Coki
“Tapi....” Coki masih ragu.
“Udah, kasih Rani aja!” aku
mendorong tubuh Coki mendekati Rani. Aku tahu Rani memang sejak dulu menyukai
Coki. Pasti Rani senang bisa dapat kue pemberian Coki.
“Mmm... Ran, ini kue dari mama
buat kamu. Karena kamu udah nemenin aku di rumah sakit, karena kamu udah
nyalinin catatan buat aku.” Coki memberikan kue itu pada Rani yang hanya diam,
tak mengerti mengapa tiba – tiba ia mendapat kue dari cowok idamannya.
“Kenapa aku?” tanya Rani.
“Mau dapat kue gak? Kalau gak
aku kasih orang lain nih!” canda Coki.
“Mau dong! Makasih ya Coki.”
Jawab Rani dengan senyum manis penuh arti.
Tiba – tiba seorang cowok
berbadan tegap memasuki kelasku. Menghentikan tawaku, Coki dan Rani. Matanya
yang indah menatapku, senyumnya yang lembut tertuju untukku.
“Pio. Ngapain pagi – pagi ke
kelas Ira?” aku menyapa Pio, pacarku. Ira adalah panggilan sayang Pio padaku.
“Kangen aja. Pengen ketemu
sama malaikat kecilnya Pio.” Pio mendekatiku, memegang tanganku, lalu
menciumnya.
“Duh.. So sweet! Bikin iri aja
kalian ini!” celoteh Rani padaku dan Pio. Coki hanya diam.
Tiba – tiba bel tanda masuk
kelas berbunyi. Pio kembali ke kelasnya, XII IA2. Pio memang lebih pintar dari
aku, yang hanya bisa masuk kelas XII IA6. Tapi itu tak jadi penghalang
hubunganku dengan Pio yang sudah ku jalani selama 2 tahun.
Pulang sekolah aku menunggu di
gerbang, menunggu Pio mengambil motornya.
“Syira! Pulang bareng aku yuk!
Aku mau ke gramedia, kita cari novel baru di sana!” teriak Coki dari dalam
mobilnya.
“Maaf Coki. Aku pulang bareng
Pio hari ini. Lain kali aja ya aku ikut kamu!”
“Oh.. ya udah. Gak apa – apa
kok! Aku duluan ya.” Kata Coki dengan ekspresi agak kecewa.
Di perjalanan pulang, HP Pio
berbunyi, Pio menghentikan motornya, menjawab telpon yang masuk.
“Ra, maaf ya, Pio harus pulang
sekarang juga, ibu asmanya kumat. Adek barusan telpon. Bapak gak ada di rumah.
Ira bisa pulang sendiri kan?” kata Pio.
Walau sedikit kecewa, tapi aku
harus mengerti kalau ibu Pio sedang sakit, dan itu lebih penting dari pada
mengantarku pulang. Akhirnya, aku melanjutkan perjalananku ke rumah dengan
berjalan kaki, padahal jarak rumahku masih 3 km.
“Syira!” mobil Coki merapat ke
arahku.
“Coki!” sahutku kaget.
“Ngapain disini? Gak pulang? Pio
mana?” tanya Coki khawatir dari jendela mobilnya.
“Ibu Pio asmanya kambuh,
barusan Pio ditelpon adiknya, dan dia harus pulang, jadi aku jalan deh.”
“Ya ampun. Pio tega banget
sih, biarin pacarnya jalan kaki siang – siang gini. Ayo naik, aku antar kamu pulang!”
ajak Coki.
“Tapi...”
“Apa lagi? Udah naik!” aku
akhirnya naik ke mobil Coki, dan pulang dengan selamat.
Hari ini hari minggu, dan
aktivtas rutinku di hari minggu adalah joging di Kalpataru, areal joging track
di dekat rumahku. Hari itu aku melihat Coki yang sedang asik dengan sepedanya.
Aku mencoba mendekati Coki yang berada di seberang jalan.
“Coki!” aku memenggil Coki,
lalu menyebrang jalan.
Tanpa kusadari, sebuah minibus
melaju kencang dari arah kananku, dengan sigap Coki mendorong tubuhku, menyelamatkanku
yang hampir tertabrak, walau di sisi lain sepedanya terlindas minibus itu dan
hancur.
“Kamu gak apa – apa kan?
Makanya, kalau nyebrang liat kiri kanan dulu dong! Kalau tadi kamu ditabrak
gimana?” Coki tampak marah.
“Iya maaf. Aku gak hati – hati.
Makasih ya, udah nolongin aku.” Aku menyahut sambil tertunduk malu.
“Ya udah. Sekarang ayo
nyebrang, hati – hati.” Tanpa kusadari Coki menggenggam tanganku, membimbingku
menyebrangi jalan, seperti ibu yang menyebrangkan anaknya. Entah mengapa, aku
merasa ada kenyamanan yang mengalir dari genggaman Coki. Kenyamanan yang
berbeda. Ingin rasanya aku menggenggam tangan Coki lebih lama.
“Ra? Syira?” Coki mengibas –
ngibaskan tangannya di depan wajahku, membuat lamunanku buyar.
“Ehh..” aku mulai salah
tingkah.
“Ngelamunin apa sih? Seru
banget kayaknya!” Coki meledekku.
“Gak! Gak ngelamunin apa –
apa. Sepeda kamu hancur tuh!” aku mengalihkan pembicaraan.
“Oo iya! Aduh! Aku pasti
dimarah papa ni!”
“Maaf ya Ki, gara – gara
nolongin aku, sepeda kesayangan kamu hancur deh! Aku harus gimana sebagai
permintaan maaf?” aku merasa sangat bersalah pada Coki.
“Gak apa – apa kok! Aku bawa
ke bengkel aja nanti pasti bisa jadi lagi.”
Coki memang selalu begitu. Gak
pernah mau mengaku kalau sebenarnya dia kecewa, selalu mengaku baik – baik
saja. 3 tahun aku bersahabat, tak pernah sekalipun Coki mencurahkan isi hatinya
padaku. Tak pernah sekalipun Coki memperlihatkan suasana hatinya.
“Tangan kamu lecet tuh! Kita
ke warung itu ya, beli perban buat lukamu.”
Begitu sigapnya Coki mengobati
tanganku yang lecet, tanpa Coki tahu, aku menatapnya, aku baru sadar, Coki
memiliki bibir yang manis, mata yang indah, dan itu semua terangkai dalam
sebuah wajah yang tampan dan sedap dipandang.
“Udah. Gak sakit lagi kan?”
tanya Coki menghancurkan lamunanku.
“Gak kok. Ki, joging yuk!”
Aku dan Coki berlari kecil di
area joging track, banyak orang melakukan aktivitas yang sama dengan kami.
Salah satunya kutemukan Pio. Tapi, bukankah Pio bilang sedang di rumah merawat
ibunya yang sakit? Mungkin perasaanku saja.
“Ra, itu kan Rani! Sama siapa
ya dia?” kata Coki menunjuk ke arah di mana juga kulihat Pio di sana.
“Pio?” itu benar – benar Pio
dan anehnya, dia bersama Rani, mereka dengan mesra saling menyuapi sebuah
makanan. Entah darimana emosiku datang dan entah siapa yang memompa darahku
hingga naik ke ubun – ubun. Dengan lancar kulangkahkan kakiku, menuju tempat
Pio dan Rani.
“Pagi Pio!” dengan segenap
kesabaran aku menyapa Pio, kekasihku.
“Ira? Ngapain disini?” Pio
terlihat panik, gagap dan bingung melihat kedatanganku. Rani pun bersikap
serupa.
Plak!!! Sebuah tamparan
istimewa ku layangkan ke pipi Rani.
“Ini yang namanya sahabat? Ini
yang namanya sayang? Ini yang namanya setia? Kalian berdua sama aja kayak
anjing, gonggongannya manis, tapi dalam jiwa kalian licik!” aku meneteskan air
mataku, di tengah tatapan ratusan orang.
“Biar Pio jelasin dulu!” Pio
mencoba menenangkan aku.
“Gak ada yang perlu di jelasin
Pio! Aku udah jelas – jelas ngeliat dengan mata kepalaku sendiri dan mata
ratusan orang disini, kalau kamu tu sama aja kayak cowok – cowok lainnya,
brengsek! Dan kamu Rani, kamu sahabat terburuk yang pernah aku punya, kamu bilang
kalau kamu suka sama Coki, ternyata itu cuma kamuflase. Ternyata itu cuma untuk
alibi. Aku gak nyangka kalian tega bohongin aku. Mulai sekarang, aku gak mau
ada hubungan apa – apa lagi dengan kalian berdua. Ayo Coki, pulang!” aku
berbicara panjang lebar dengan tangis yang di pandangi banyak orang di tempat
itu.
Aku menangis sejadi – jadinya
di rumah Coki. Mama Coki membuatkan ku secangkir coklat hangat, bermaksud
menenangkan pikiranku, tapi, itu tak berarti apa – apa.
“Aku gak nyangka Pio dan Rani
setega itu. Mereka itu niat temenan sama kamu gak sih?” Coki ikut terpancing
emosinya.
“Jangan omongin mereka lagi
Ki. Sakit kupingku dengar nama mereka.”
“Sabar ya Ra. Coki masih ada
disini nemenin kamu, nyayangin kamu, aku janji bakal jaga kamu.” Coki berkata
dengan lembutnya.
“Boleh aku pinjam dada kamu?”
aku merasa membutuhkan sandaran.
“Diambil juga boleh.” Coki
mengelus lembut rambutku. Menciumnya lembut.
“Aku cinta kamu Ra. Aku sayang
sama kamu, jauh di atas sayang Pio ke kamu.” Baru kali ini Coki melakukan ini
ke aku. Mengatakan isi hatinya dan itu tentu membuat aku terkejut.
“Coki, aku menyesal harus
punya pacar Pio dan punya sahabat Rani, mereka buat hatiku sakit. Kenapa gak
dari dulu aku sadar kalau sosok pacar dan sahabat terbaik ada dalam 1 orang,
kamu. Tapi, aku belum bisa jawab semuanya, aku harus memulihkan luka di hati
aku.” Aku akhirnya mengakui isi hatiku pada Coki.
“Aku janji akan ngobatin luka
kamu secepat mungkin. Aku gak perlu jawaban, aku cuma mau mencurahkan apa yang
aku rasain selama ini, biar kamu tau, aku sayang kamu, aku cinta kamu, tulus.”
Coki mengecup keningku, aku bisa merasakan kesayangan yang besar yang siap menyambutku
dan menemani hari – hariku nanti. Coki, aku janji akan memberikan jawaban yang
indah, tapi nanti, biarkan aku menghapus bayangan Pio sekarang.
the-end