Kamis, 27 September 2012

Corat coret..



 
Penyesalan
“Pagi Syira!”
“Pagi! Apa kabar Ki ?” aku menyapa Coki, teman sekelasku. Dia baru saja masuk sekolah. Coki di rawat di rumah sakit selama 5 hari karena tipus. Makanya baru sekarang Coki bisa hadir lagi ke sekolah.
“Baik donk! Kamu gimana? Oh iya, ini ada kue dari mamaku, ucapan terima kasih karena kamu udah mau nemenin aku selama di rumah sakit.” Coki menyerahkan bungkusan hitam yang cukup besar padaku.
“Duh! Gak perlu Ki. Aku ikhlas kok nemenin kamu. Kita kan sahabatan, udah jadi kewajiban kalau aku nemenin kamu waktu kamu sakit. Jadi, gak perlu ada ucapan terima kasih.”
“Oh..gitu ya. Tapi gimana dong? Mama yang suruh titipin ini ke kamu. Kalau kamu gak mau, kue ini aku kasih siapa?”
Tiba – tiba Rani, teman sebangkuku masuk ke kelas.
“Buat Rani aja. Dia juga nemenin kamu di rumah sakit kan?” saranku pada Coki
“Tapi....” Coki masih ragu.
“Udah, kasih Rani aja!” aku mendorong tubuh Coki mendekati Rani. Aku tahu Rani memang sejak dulu menyukai Coki. Pasti Rani senang bisa dapat kue pemberian Coki.
“Mmm... Ran, ini kue dari mama buat kamu. Karena kamu udah nemenin aku di rumah sakit, karena kamu udah nyalinin catatan buat aku.” Coki memberikan kue itu pada Rani yang hanya diam, tak mengerti mengapa tiba – tiba ia mendapat kue dari cowok idamannya.
“Kenapa aku?” tanya Rani.
“Mau dapat kue gak? Kalau gak aku kasih orang lain nih!” canda Coki.
“Mau dong! Makasih ya Coki.” Jawab Rani dengan senyum manis penuh arti.
Tiba – tiba seorang cowok berbadan tegap memasuki kelasku. Menghentikan tawaku, Coki dan Rani. Matanya yang indah menatapku, senyumnya yang lembut tertuju untukku.
“Pio. Ngapain pagi – pagi ke kelas Ira?” aku menyapa Pio, pacarku. Ira adalah panggilan sayang Pio padaku.
“Kangen aja. Pengen ketemu sama malaikat kecilnya Pio.” Pio mendekatiku, memegang tanganku, lalu menciumnya.
“Duh.. So sweet! Bikin iri aja kalian ini!” celoteh Rani padaku dan Pio. Coki hanya diam.
Tiba – tiba bel tanda masuk kelas berbunyi. Pio kembali ke kelasnya, XII IA2. Pio memang lebih pintar dari aku, yang hanya bisa masuk kelas XII IA6. Tapi itu tak jadi penghalang hubunganku dengan Pio yang sudah ku jalani selama 2 tahun.
Pulang sekolah aku menunggu di gerbang, menunggu Pio mengambil motornya.
“Syira! Pulang bareng aku yuk! Aku mau ke gramedia, kita cari novel baru di sana!” teriak Coki dari dalam mobilnya.
“Maaf Coki. Aku pulang bareng Pio hari ini. Lain kali aja ya aku ikut kamu!”
“Oh.. ya udah. Gak apa – apa kok! Aku duluan ya.” Kata Coki dengan ekspresi agak kecewa.
Di perjalanan pulang, HP Pio berbunyi, Pio menghentikan motornya, menjawab telpon yang masuk.
“Ra, maaf ya, Pio harus pulang sekarang juga, ibu asmanya kumat. Adek barusan telpon. Bapak gak ada di rumah. Ira bisa pulang sendiri kan?” kata Pio.
Walau sedikit kecewa, tapi aku harus mengerti kalau ibu Pio sedang sakit, dan itu lebih penting dari pada mengantarku pulang. Akhirnya, aku melanjutkan perjalananku ke rumah dengan berjalan kaki, padahal jarak rumahku masih 3 km.
“Syira!” mobil Coki merapat ke arahku.
“Coki!” sahutku kaget.
“Ngapain disini? Gak pulang? Pio mana?” tanya Coki khawatir dari jendela mobilnya.
“Ibu Pio asmanya kambuh, barusan Pio ditelpon adiknya, dan dia harus pulang, jadi aku jalan deh.”
“Ya ampun. Pio tega banget sih, biarin pacarnya jalan kaki siang – siang gini. Ayo naik, aku antar kamu pulang!” ajak Coki.
“Tapi...”
“Apa lagi? Udah naik!” aku akhirnya naik ke mobil Coki, dan pulang dengan selamat.
Hari ini hari minggu, dan aktivtas rutinku di hari minggu adalah joging di Kalpataru, areal joging track di dekat rumahku. Hari itu aku melihat Coki yang sedang asik dengan sepedanya. Aku mencoba mendekati Coki yang berada di seberang jalan.
“Coki!” aku memenggil Coki, lalu menyebrang jalan.
Tanpa kusadari, sebuah minibus melaju kencang dari arah kananku, dengan sigap Coki mendorong tubuhku, menyelamatkanku yang hampir tertabrak, walau di sisi lain sepedanya terlindas minibus itu dan hancur.
“Kamu gak apa – apa kan? Makanya, kalau nyebrang liat kiri kanan dulu dong! Kalau tadi kamu ditabrak gimana?” Coki tampak marah.
“Iya maaf. Aku gak hati – hati. Makasih ya, udah nolongin aku.” Aku menyahut sambil tertunduk malu.
“Ya udah. Sekarang ayo nyebrang, hati – hati.” Tanpa kusadari Coki menggenggam tanganku, membimbingku menyebrangi jalan, seperti ibu yang menyebrangkan anaknya. Entah mengapa, aku merasa ada kenyamanan yang mengalir dari genggaman Coki. Kenyamanan yang berbeda. Ingin rasanya aku menggenggam tangan Coki lebih lama.
“Ra? Syira?” Coki mengibas – ngibaskan tangannya di depan wajahku, membuat lamunanku buyar.
“Ehh..” aku mulai salah tingkah.
“Ngelamunin apa sih? Seru banget kayaknya!” Coki meledekku.
“Gak! Gak ngelamunin apa – apa. Sepeda kamu hancur tuh!” aku mengalihkan pembicaraan.
“Oo iya! Aduh! Aku pasti dimarah papa ni!”
“Maaf ya Ki, gara – gara nolongin aku, sepeda kesayangan kamu hancur deh! Aku harus gimana sebagai permintaan maaf?” aku merasa sangat bersalah pada Coki.
“Gak apa – apa kok! Aku bawa ke bengkel aja nanti pasti bisa jadi lagi.”
Coki memang selalu begitu. Gak pernah mau mengaku kalau sebenarnya dia kecewa, selalu mengaku baik – baik saja. 3 tahun aku bersahabat, tak pernah sekalipun Coki mencurahkan isi hatinya padaku. Tak pernah sekalipun Coki memperlihatkan suasana hatinya.
“Tangan kamu lecet tuh! Kita ke warung itu ya, beli perban buat lukamu.”
Begitu sigapnya Coki mengobati tanganku yang lecet, tanpa Coki tahu, aku menatapnya, aku baru sadar, Coki memiliki bibir yang manis, mata yang indah, dan itu semua terangkai dalam sebuah wajah yang tampan dan sedap dipandang.
“Udah. Gak sakit lagi kan?” tanya Coki menghancurkan lamunanku.
“Gak kok. Ki, joging yuk!”
Aku dan Coki berlari kecil di area joging track, banyak orang melakukan aktivitas yang sama dengan kami. Salah satunya kutemukan Pio. Tapi, bukankah Pio bilang sedang di rumah merawat ibunya yang sakit? Mungkin perasaanku saja.
“Ra, itu kan Rani! Sama siapa ya dia?” kata Coki menunjuk ke arah di mana juga kulihat Pio di sana.
“Pio?” itu benar – benar Pio dan anehnya, dia bersama Rani, mereka dengan mesra saling menyuapi sebuah makanan. Entah darimana emosiku datang dan entah siapa yang memompa darahku hingga naik ke ubun – ubun. Dengan lancar kulangkahkan kakiku, menuju tempat Pio dan Rani.
“Pagi Pio!” dengan segenap kesabaran aku menyapa Pio, kekasihku.
“Ira? Ngapain disini?” Pio terlihat panik, gagap dan bingung melihat kedatanganku. Rani pun bersikap serupa.
Plak!!! Sebuah tamparan istimewa ku layangkan ke pipi Rani.
“Ini yang namanya sahabat? Ini yang namanya sayang? Ini yang namanya setia? Kalian berdua sama aja kayak anjing, gonggongannya manis, tapi dalam jiwa kalian licik!” aku meneteskan air mataku, di tengah tatapan ratusan orang.
“Biar Pio jelasin dulu!” Pio mencoba menenangkan aku.
“Gak ada yang perlu di jelasin Pio! Aku udah jelas – jelas ngeliat dengan mata kepalaku sendiri dan mata ratusan orang disini, kalau kamu tu sama aja kayak cowok – cowok lainnya, brengsek! Dan kamu Rani, kamu sahabat terburuk yang pernah aku punya, kamu bilang kalau kamu suka sama Coki, ternyata itu cuma kamuflase. Ternyata itu cuma untuk alibi. Aku gak nyangka kalian tega bohongin aku. Mulai sekarang, aku gak mau ada hubungan apa – apa lagi dengan kalian berdua. Ayo Coki, pulang!” aku berbicara panjang lebar dengan tangis yang di pandangi banyak orang di tempat itu.
Aku menangis sejadi – jadinya di rumah Coki. Mama Coki membuatkan ku secangkir coklat hangat, bermaksud menenangkan pikiranku, tapi, itu tak berarti apa – apa.
“Aku gak nyangka Pio dan Rani setega itu. Mereka itu niat temenan sama kamu gak sih?” Coki ikut terpancing emosinya.
“Jangan omongin mereka lagi Ki. Sakit kupingku dengar nama mereka.”
“Sabar ya Ra. Coki masih ada disini nemenin kamu, nyayangin kamu, aku janji bakal jaga kamu.” Coki berkata dengan lembutnya.
“Boleh aku pinjam dada kamu?” aku merasa membutuhkan sandaran.
“Diambil juga boleh.” Coki mengelus lembut rambutku. Menciumnya lembut.
“Aku cinta kamu Ra. Aku sayang sama kamu, jauh di atas sayang Pio ke kamu.” Baru kali ini Coki melakukan ini ke aku. Mengatakan isi hatinya dan itu tentu membuat aku terkejut.
“Coki, aku menyesal harus punya pacar Pio dan punya sahabat Rani, mereka buat hatiku sakit. Kenapa gak dari dulu aku sadar kalau sosok pacar dan sahabat terbaik ada dalam 1 orang, kamu. Tapi, aku belum bisa jawab semuanya, aku harus memulihkan luka di hati aku.” Aku akhirnya mengakui isi hatiku pada Coki.
“Aku janji akan ngobatin luka kamu secepat mungkin. Aku gak perlu jawaban, aku cuma mau mencurahkan apa yang aku rasain selama ini, biar kamu tau, aku sayang kamu, aku cinta kamu, tulus.” Coki mengecup keningku, aku bisa merasakan kesayangan yang besar yang siap menyambutku dan menemani hari – hariku nanti. Coki, aku janji akan memberikan jawaban yang indah, tapi nanti, biarkan aku menghapus bayangan Pio sekarang.
the-end